Departemen Perdagangan Amerika Serikat (US Department of Commerce/USDOC) menetapkan tarif 5,9 persen pada produk menara angin (wind tower) buatan Indonesia

Pada periode Januari—Agustus 2020 terjadi peningkatan ekspor menjadi sebesar USD 59,3 juta dari periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar USD 55,9 juta. Pada 2019, Indonesia menduduki posisi ketiga sebagai negara pengekpor produk wind tower ke AS dengan jumlah 60 ribu ton setelah Korea Selatan (67 ribu ton), dan Vietnam (65 ribu ton).

Lebih lanjut lagi, Departemen Perdagangan Amerika Serikat (US Department of Commerce/USDOC) pada 29 Juni 2020 lalu juga resmi mengeluarkan putusan akhir penyelidikan anti subsidi terhadap produk menara angin (wind tower) asal Indonesia dengan margin subsidi sebesar 5,9 persen.

Komponen terbesar dari margin tersebut, sebesar 5,7 persen berasal dari subsidi hulu (upstream subsidy) yaitu subsidi yang menurut USDOC terkandung dalam produk cut to length steel plate (CTL) produksi dalam negeri yang merupakan bahan baku utama menara angin. Margin lainnya sebesar 0,17 persen dan 0,03 persen dihitung USDOC dari subsidi listrik dan pembebasan PPh Impor.

Hasil akhir ini jauh lebih baik dari hasil sementara (preliminary determination) yang ditetapkan USDOC pada 6 Desember 2019 lalu. Pada saat tersebut, margin subsidi yang ditetapkan mencapai 20,29 persen, dimana 20,09 persen disebabkan anggapan Amerika Serikat (AS) terkait adanya kebijakan Indonesia kepada produsen bahan baku CTL untuk menjual CTL tersebut di bawah harga wajar (less than adequate remuneration) kepada produsen wind tower dalam negeri. Hal ini dijadikan alasan oleh USDOC untuk melakukan pembandingan (benchmarking) harga CTL dengan sumber lain yang dianggap wajar.

Pembandingan harga ini menyebabkan margin subsidi melambung tinggi. Menyadari hal itu, Pemerintah Indonesia memperkuat kerja sama dengan pihak terkait untuk membantah tuduhan tersebut melalui on site verification pada 4—5 Maret 2020 di Kementerian Perdagangan serta penyampaian argumen lanjutan dalam legal dan rebuttal brief pascaverifikasi. Upaya ini menuai hasil yang diharapkan, USDOC menggugurkan tuduhan perolehan CTL di bawah harga wajar oleh produsen wind tower. Namun di luar dugaan, USDOC memasukkan unsur upstream subsidy yang pada awalnya diputuskan untuk ditunda hingga pelaksanaan administrative review pertama.

Indonesia sebenarnya dapat memenangkan kasus ini tanpa diterapkannya bea masuk subsidi jika pihak otoritas AS berlaku adil (fair) dengan tidak memasukkan unsur upstream subsidy,” ujar Menteri Perdagangan Agus Suparmanto. Sementara Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Didi Sumedi menyampaikan, Indonesia hanya punya satu produsen wind tower, namun sangat prospektif dalam menunjang kinerja ekspor, terutama ke pasar AS yang menembus USD 90 Juta pada 2019. Nilai ini naik tajam dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar USD 64 Juta.

Upaya kita sudah sangat baik dalam mengamankan akses pasar. Di satu sisi, kita bergembira karena upaya panjang Indonesia sampai pada garis akhir, yaitu margin subsidi dapat digugurkan. Di sisi lain, kita kecewa karena diperlakukan tidak adil (fair) dengan manuver USDOC. Kita sama sekali tidak dinotifikasi soal penyelidikan upstream subsidy sehingga tidak ada pembelaan di situ,” lanjut Didi.

Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati menyampaikan, Pemerintah Indonesia melibatkan lintas kementerian/lembaga serta Asosiasi. Pemerintah Indonesia menghimpun dukungan dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Hukum & HAM, BUMN, PLN, EximBank, dan Penjaminan Infrastruktur Indonesia.

“Produsen CTL Indonesia turut terkena imbasnya. Kami meminta banyak dokumen dan data strategis Krakatau Steel dan Krakatau Posco untuk kepentingan penyelidikan di tengah kesibukan mereka membenahi kondisi internal,” ungkap Pradnyawati. Pradnyawati menambahkan, langkah pembelaan Pemerintah Indonesia di koridor penyelidikan berakhir seiring selesainya penyelidikan USDOC.

Bea masuk imbalan mulai diberlakukan berdasarkan final order yang dikeluarkan Pemerintah AS pasca putusan affirmative US International Trade Commission (USITC), yaitu adanya kerugian di industri wind tower AS akibat impor bersubsidi. “Untuk isu munculnya upstream subsidy, saat ini jalur pembelaan lanjutan yang bisa ditempuh perusahaan adalah gugatan ke Court of International Trade di AS.

Dengan besaran bea masuk imbalan tersebut, Indonesia berharap ekspor ke AS tidak terlalu terganggu,” pungkas Pradnyawati. AS merupakan pasar utama tujuan ekspor produk wind tower Indonesia dengan pangsa pasar ekspor mencapai 81 persen pada 2019. 

KESIMPULAN

Di Metalextra, rencana kerja kami terlaksana karena kami mendengarkan, mengulas, dan menganalisis tantangan dari pelanggan kami. Spesialis kami akan memulai dengan menghabiskan waktu di lantai workshop Anda dan di laboratorium Anda. Kemudian, kami mencari solusi dan menemukan jawaban yang sesuai dengan kebutuhan anda.

Jika Anda berminat untuk membeli alat kerja presisi ataupun beragam alat aksesoris machining dan cutting tool dimensi metric lainnya silahkan hubungi kami melalui chat online yang ada di pojok kanan bawah website ini atau melalui email: sales@metalextra.com Semoga bermanfaat. Wassalam!


Sumber:  Siaran Pers Kementrian Perdagangan OCTOBER 2020

Tim Kreatif Metalextra.com, Kesimpulan di tulisan ini merupakan opini Pribadi di media milik sendiri.

Awalnya dipublikasikan pada15 May 2020 @ 8:05 PM

Leave a Reply