Mengapa teknologi aerospace dirgantara Indonesia jalan ditempat?

Industri Aerospace atau penerbangan merupakan industri berteknologi tinggi yang teramat sangat dibutuhkan karena menunjang arus perpindahan manusia dan kekerabatan orang Indonesia. Setiap tahunnya orang Indonesia beragam suku dan agama menggunakan jasa penerbangan entah untuk bisnis maupun untuk merayakan hari bahagia bersama keluarga tercinta. Impian besar indonesia ini tidak dapat kita pungkiri dipelopori oleh salah seorang pemimpin negeri ini yaitu Prof. BJ. Habibie. Namun setelah beliau bagaimana kelanjutannya?

Kondisi industri Aerospace Indonesia sebenarnya bukan jalan ditempat, tetapi jalan mundur. Ratusan bencana operasional transportasi tanah air banyak terjadi karena minimnya SDM teknisi dan industri pendukung teknologi presisi tertinggi didunia ini. Kehancuran Boeing yang juga bertanggungjawab atas lebih dari 50% pesawat di Indonesia dan seluruh dunia, juga pertanda bahwa peluang dari industri Aerospace masih teramat sangat luas.

SEMANGAT INDUSTRI PRESISI AEROSPACE

Visi, misi dan kepemimpinan presiden Habibie dalam menjalankan agenda reformasi memang tidak bisa dilepaskan dari pengalaman hidupnya. Setiap keputusan yang diambil didasarkan pada faktor-faktor yang bisa diukur. Maka tidak heran tiap kebijakan yang diambil kadangkala membuat orang terkaget-kaget dan tidak mengerti. Bahkan sebagian kalangan menganggap Habibie apolitis dan tidak berperasaan. Pola kepemimpinan Habibie seperti itu dapat dimaklumi mengingat latar belakang pendidikannya sebagai seorang engineer di bidang konstruksi kereta api dan juga memiliki ilmu serta impian membangun industri pesawat terbang dalam negeri. 

Spirit atas penggalangan dana untuk pengembangan R 80 mengindikasikan masih tingginya asa anak bangsa untuk kebangkitan teknologi nasional. Pesawat R 80 sebagaimana halnya N 250 merupakan representatif dari fase pengembangan teknologi dari strategi berawal di akhir dan berakhir di awal yang pernah diadopsi oleh IPTN pada era BJ Habibie.

Pesawat R80 yang juga di rancang oleh BJ Habibie dikerjakan bersama dengan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dengan memanfaatkan segenap sarana dan sumber daya manusia yang tersebar di lembaga-lembaga riset nasional.

Dalam Master Phasing Plan R 80, diketahui bahwa preliminary designR 80 telah dimulai sejak 2013, tahap pengembangan pada 2014-2017, sertifikasi pengujian ditargetkan tahun 2018, dan puncaknya tahap serial production dijadwalkan pada 2018.

Namun sayang, karena masalah pendanaan, rencana pengembangan R 80 juga akhirnya molor. Rencana sertifikasi prototipe pesawat R80 kemudian bergeser ke tahun 2022, sebagai konsekuensinya target pemesanan pertama baru bisa dilakukan pada 2025.

Pertanyaannya, sepenting apasih pengembangan R 80 untuk bangsa Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, analisis dapat dipilah ke dalam tiga tinjauan, yaitu pangsa pasar, keunggulan teknologi, dan ancaman punahnya generasi emas dirgantara nasional.

KEBUTUHAN TEKNOLOGI AEROSPACE

Permintaan pesawat sejenis R 80 hingga 2032 sangat besar, baik untuk pasar domestik maupun internasional. Untuk pasar domestik, kebutuhan untuk pesawat sejenis R80 kira-kira sebanyak 300 sampai 400 unit.

Tingginya permintaan dapat dilihat dari permintaan domestik terhadap pesawat ATR 72 buatan Prancis. Data per tahun 2015 menunjukkan, ATR-72 telah banyak digunakan sejumlah maskapai di antaranya Trigana Air, Wings Air, Sriwajaya Air, bahkan Garuda Indonesia.

Wings Air telah mengorder sejumlah total 80 pesawat, adapun Garuda Indonesia juga telah mengorder total 35 pesawat (Muzakir, 2015). Untuk skala internasional pada tahun 2015, permintaan terhadap pesawat sejenis R 80 juga cukup tinggi, yaitu mencapai 662 unit.

SUMBER DAYA MANUSIA ENGINEERING AEROSPACE VS MODAL DUIT

Dari sisi teknologi, pesawat R-80 lebih unggul dibandingkan ATR 72-600 khususnya pada jumlah kapasitas penumpang dan kecepatannya. Bahkan, jika dibandingkan dari aspek efisiensi konsumsi bahan bakar dengan Airbus dan Boeing pun, R 80 dilaporkan masih lebih unggul.

Sebab, baypass ratio-nya sekitar 40, sementara Airbus atau Boeing hanya 12. Dalam berbagai kesempatan, Pak Habibie selalu mengingatkan, ’’Jika tidak ada program sejenis R 80 saat ini, dalam dua atau tiga tahun ke depan, kemampuan engineer dalam mendesain pesawat terbang akan punah”.

Apalagi, sebagian besar generasi hasil didikan era 1950-an yang tersebar, baik di LAPAN, IPTN, BPPT, maupun ITB tersebut telah banyak yang pensiun dan jumlahnya pun bisa dihitung dengan jari. Di satu sisi, ITB sebagai satu-satunya institusi pendidikan yang memiliki program pengembangan keilmuan teknologi dirgantara di Indonesia hanya meluluskan sebanyak 60 orang lulusan aerospace engineers per tahun.

Dari sini kita memahami, dengan adanya program sejenis R 80, kemampuan engineering dari sebagian engineer senior yang pernah terlibat dalam rancang bangun pesawat NC 212, CN 235, N 250 hingga preliminary design pesawat jet N 2130 dapat ditularkan ke engineer muda.

Setelah kita ketahui potensi pasar, keunggulan teknologi dari R 80 ditambah lagi ancaman punahnya generasi emas dirgantara, maka pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana dukungan nasional terhadap pengembangan R 80 khususnya dukungan kebijakan pendanaan?

Setelah empat tahun dari fase  initial design-nya, yaitu tahun 2013, dukungan bagi pengembangan pesawat R 80 akhirnya dinyatakan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2017 tentang Proyek Strategis Nasional (PSN).

Namun, dukungan tersebut tentunya belum cukup, apalagi mengingat biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan R80 sangat besar, yaitu sekitar 1 miliar dolar AS dengan perincian, 700 juta dolar AS digalang swasta dan 300 juta dolar AS dukungan pemerintah berupa investasi kepada institusi kedirgantaraan (Muzakir, 2015).

INDONESIA VS DUNIA

Tapi kok sekarang malah industri ini melempem? Kenapa ada banyak bengkel industri CNC dan pabrikasi presisi di Batam hingga Makassar justru jalan ditempat bahkan sepi dari order komponen terkait? Kenapa minim sekali peminatnya ilmu machining dan industri metalworking didunia pendidikan? Kenapa orang Cina, Brazil yang sama sama memiliki populasi manusia yang besar dan berawal dari negeri yang susah dijaman perang dunia kedua bisa berhasil? Jawabannya sederhana. Keberhasilan industri pesawat Avic China, Embraer-Brazil, WACO-Amerika Serikat, hingga Airbus adalah karena kuatnya dukungan pemerintah dalam pendanaan proyek mereka.

Hal senada juga dilaporkan The ERA Regional Airline Conference 2015, bahwa kuatnya dukungan pendanaan juga menjadi sebab suksesnya pesaing R 80, yaitu ATR 72: 600 ataupun Dash8-Q-400 Canada. Dukungan pemerintah merupakan sarat mutlak untuk mendapatkan suntikan dana dari investor dalam ataupun luar negeri.

KESIMPULAN

Indonesia ini merupakan negara kepulauan yang membutuhkan 2 jenis teknologi logistik dan transportasi utama, yaitu transportasi udara dan transportasi laut. Pengembangan transportasi udara merupakan teknologi super presisi yang menuntut disiplin ilmu teknik dan machining tingkat tinggi, belum lagi dengan pembersihan BUMN aerospace Indonesia. 

BUMN serospace seperti Garuda dan rekannya seharusnya menjadi andalan pemerintah dan menjadi pembimbing serta sumber penghidupan dari industri sparepart dan pendidikan dirgantara maupun pendidikan machining di Indonesia.

Namun sayangnya, dalam konteks nasional, peraturan pemerintah yang mengatur pembebanan hipotek pesawat terbang sebagai jaminan pelunasan suatu utang, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) UU No 15 tahun 1992 tentang Penerbangan hingga saat ini belum direalisasikan.

Padahal, suatu yang hampir mustahil jika dana eksternal pembelian pesawat terbang hanya bersumber dari satu lembaga pembiayaan, apalagi hanya dari lembaga pembiayaan dalam negeri. Oleh sebab itu perbankan pun harus ikut patungan.

Kesimpulannya, jika political will untuk mendorong lahirnya segenap kebijakan operasional yang mengatur financing pesawat terbang tidak segera diperkuat, yang akan terjadi adalah sirnanya kemampuan merancang bangun pesawat terbang sekelas R 80. Tapi apakah mungkin kaum industrialis Indonesia mau dan sanggup mengembangkan teknologi super presisi seperti Aerospace ini didalam negeri? 

Metalextra menawarkan perangkat kerja presisi maupun perlengkapan block gauge dan standard block terbaik dengan akurasi Swiss berkualitas tinggi. Berbeda dengan pesaing kami yang berjualan tong sampah dan alat kerja non-presisi yang dicampur aduk, kami merupakan satu-satunya spesialis presisi asli Indonesia yang paham dan mengerti cara cerdas untuk mengejar kesempuranaan dan toleransi yang ketat. 

Jangan ragu untuk mencari bantuan dari spesialis yang dapat membantu Anda memilih yang akan memberi Anda manfaat maksimal. Hubungi kami melalui chat online yang ada di pojok kanan bawah website ini atau melalui email : sales@metalextra.com Semoga bermanfaat. Wassalam!


Sumber: 

Tim Kreatif Metalextra.com, Tulisan ini merupakan opini Pribadi di media milik sendiri.

http://ksp.go.id/

ristekdikti.go.id 

republika.co.id, terbit selasa, 21 November 2017

Awalnya dipublikasikan pada18 January 2020 @ 8:02 AM

Leave a Reply