Kenapa ada banyak sekali peluang Industri di Indonesia yang tidak dan belum mampu diolah oleh sumber daya manusia Indonesia? Pertanyaan ini seringkali kami terima ketika kami menemani tim prinsipal engineer kami asal Jepang maupun rekan partner kami yang berasal dari negeri maju di Eropa. Mungkin kita bisa menjawab dengan mencari-cari alasan logis yang masuk akal bagi mereka.
Namun yang lebih mengejutkan dan terasa sakit di hati itu ketika teman dan rekan kami dari negeri India, Taiwan, Malaysia dan bahkan Filipina yang menanyakan kenapa orang asli Indonesia terlihat ketinggalan dan sangat minim berwirausaha dibidang Industri presisi maupun bidang lainnya? Kenapa daftar 10 orang terkaya di Indonesia tidak ada orang asli bumiputera Indonesia?.
Bagi mereka yang sama-sama berasal dari negeri ekonomi yang giat membangun hal tersebut sangatlah menarik. Namun seringkali kami hanya bisa jawab sambil mengelus dada dan berkata “Orang Asli Indonesia lebih suka menjadi Karyawan”. Suatu jawaban Non-sense dan sekenanya saja. Tetapi kenapa sih bisa begitu? Apa sih yang harusnya dilakukan pemerintah agar lowongan kerja terbuka luas dan tersedia ditengah tantangan Industrial Revolution 4.0? Kami mencoba memberikan penjelasan selengkapnya melalui 9 point ini:
SEJARAH REVOLUSI INDUSTRI PERTAMA INDONESIA
Jika kita melihat kebelakang, sejarah industri dan perdagangan internasional di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh penjajahan perusahaan dagang asal Belanda yaitu VOC. Ekspedisi Belanda tahun 1596 ke Indonesia memang sangat mahal. Perusahaan BUMN Belanda yang sekaligus sebagai perusahaan saham pertama sedunia ini justru merugi dan kehilangan setengah krunya, mengeluarkan banyak uang untuk membunuh pangeran Diponegoro di tanah Jawa dan kehilangan sebuah kapal dagang yang sangat dibanggakan naval engineer Eropa saat itu.
Belanda menggunakan segala cara agar mencari modal dan hutangan. Namun justru awal yang berat itulah yang membuat ekspedisi kaum VOC tetap kembali ke Republik Belanda dengan banyak rempah-rempah, keuntungan besar yang mendorong nafsu rakus mereka untuk modal ekspedisi berikutnya. Kenapa mereka mau merantau jauh sekali? Karena rakyatnya butuh lapangan pekerjaan dan dapur yang mengepul.
Menyadari potensi perdagangan rempah-rempah Hindia Timur, dan untuk mencegah persaingan memakan keuntungan Belanda, Pemerintah Belanda menggabungkan perusahaan-perusahaan dagang yang bersaing menjadi Perusahaan India Timur (VOC). Pada 1602, Negara Jenderal Belanda memberikannya 21 tahun subsidi dan monopoli dalam perdagangan rempah-rempah di Asia. Itu diberikan kekuasaan kuasi-pemerintah, termasuk kemampuan untuk berperang, memenjarakan dan mengeksekusi narapidana, menegosiasikan perjanjian, uang koin, dan membangun koloni.
Sejarah emas lembaga BUMN Indonesia tidak bisa terlepas dari pondasi yang dibangun oleh VOC itu. BUMN awal bangsa Belanda di Indonesia tersebut mendorong mereka untuk membuat kantor pusat dari nol. Pada 1603, pos perdagangan Belanda permanen pertama di Indonesia didirikan di Banten (kota), Jawa barat laut dan pada tahun 1611, yang lain didirikan di Jayakarta berikut dengan pabrik galangan kapal dagang dan kompleks pemukiman bagi pegawai mereka. Perusahaan VOC yang merupakan BUMN – Swasta berhasil memperoleh tanah dan membangun Batavia, di tempat yang sekarang Jakarta, 1682 (kemudian berganti nama menjadi ‘Batavia’ dan kemudian ‘Jakarta’).
Hingga saat ini Belanda memang belum pernah tercatat sejarah memohon maaf dan membayar dosa mereka kepada NKRi atas eksploitasi kemanusian paling berdarah dalam sejarah industrialisme. Namun ada juga hal positif yang mereka wariskan ke Indonesia hingga saat ini yang kita rasakan. Perusahaan VOC tidak sungkan membuka lowongan kerja bagi semua orang non-Belanda. Setiap orang mereka rekrut berdasarkan Merit atau keahlian dan keterampilan. Bahkan ada salah satu orang Jerman yang pernah menjabat sebagai Gubernur Batavia pertama dan ada pula orang Perancis yang diangkat menjadi insinyur pembangunan kereta api. Ini merupakan hal positif yang layak kita tiru. Namun, bagaimana dengan BUMN jaman Indonesia modern saat ini? Apakah Meritocracy ala Belanda masih berlaku? Nah untuk yang satu ini anda pasti tahu sendiri jawabannya ya. Contoh nyata perekrutan berdasarkan Meritocracy bisa kita lihat sendiri dari perusahaan rintisan asal Indonesia seperti Gojek, Bukalapak, Tokopedia, Traveloka dstnya.
AWAL BISNIS MANUFAKTUR Di INDONESIA
Pada jaman kolonial VOC dan Belanda, negeri Hindia-Belanda Indonesia juga bergerak maju dalam semangat revolusi Industri pertama yang memperkenalkan mesin produksi massal. Bahkan pada masa setelah bangkrutnya VOC pada masa 1800an akhir, wirausahawan asal Eropa, India, Arab, Shanghai dan mereka yang dulunya merupakan mantan karyawan VOC turut serta membangun sebagian besar Industri Indonesia menuju Industry 2.0.
Sebelum Revolusi Industri pertama, sebagian besar tenaga kerja dipekerjakan di pertanian, baik sebagai petani wiraswasta sebagai pemilik tanah atau penyewa, atau sebagai buruh tani tanpa tanah. Sudah biasa bagi keluarga di berbagai belahan dunia untuk memintal benang, menenun kain dan membuat pakaian mereka sendiri. Kaum wanita menjadi tukang jahit dan keluarga rumah tangga juga berputar ekonominya dengan menenun untuk produksi pasar lokal. Pada awal Revolusi Industri India, Cina, Indonesia dan wilayah Irak dan tempat lain di Asia dan Timur Tengah menghasilkan sebagian besar kain katun dan olahan pangan dunia sementara orang Eropa memproduksi wol dan barang linen.
Para pelaku usaha di Indonesia pada akhir tahun 1800an menyadari bahwa menggunakan buruh paksa tidak efisien. Penggunaan tenaga mesin dan teknologi alat perkakas kerja yang tepat dioperasikan tenaga kerja terampil dan berpendidikan justru lebih murah dan efisien karena mereka termotivasi. Kaum industrialis awal kemudian membangun fasilitas sekolah keahlian, mengimport dan memperkenalkan teknologi revolusi Industri pertama. Perusahaan tersebut mempekerjakan penduduk setempat yang terdidik untuk mengolah bahan pertanian menjadi produk siap eksport. Dari pabrik gula, dalam produksi teh, produksi minyak kayu putih, industri karet, Industri sabun, tembakau-rokok, penggilingan kopi dan lainnya hingga Indonesia menuju revolusi kemerdekaan. Seiring dengan meningkatnya pendidikan dan literasi kaum jajahan dan kaum intelektual Indonesia pendiri negara ini, tuntutan masyarakat yang sejajar dengan bangsa penjajah pun tumbuh menjadi semangat nasionalisme.
Jaman penjajahan Jepang yang banyak mengeksekusi orang kulit putih juga bertanggungjawab dalam mengubah kepemilikan dan kontrol bidang usaha di Indonesia, walaupun sangat singkat dan hampir tak ada perubahan berarti. Namun setelah kemerdekaan, aset produksi dan ratusan perusahaan tersebut mengalami penghentian produksi. Ada pula pabrik dan bisnis yang beralih kepemilikan, ataupun perampasan dengan cara yang culas. Hingga saat ini perusahaan tersebut berada dalam pengelolalan yang tidak tepat. Kenyataanya, sebagian besar aset BUMN industri tersebut kini berada ditangan segelintir perusahaan swasta dari keluarga berpengaruh di Indonesia, terutama pada zaman orde baru yang terfokus pada Cuan jangka pendek, eksport bahan baku dan bahan tambang demi Huat yang besar tanpa pengolahan lanjutan.
PEMERINTAH INDONESIA & INDUSTRI
Sering melihat mesin Wei Chai? Dari kapal yacht mewah dan kapal perang Feretti hingga mesin genset, jejak Wei Chai ada diseluruh dunia. Negeri industrialis seperti People’s Republic of China (PRC) memilki ribuan BUMN, salah satu yang paling menonjol adalah Wei Chai Group yang menguasai teknologi permesinan dan engineering heavy industries hingga industri presisi. Meniru dan mencontoh langkah sukses dari BUMN PRC seperti Wei Chai memang butuh SDM yang siap dan berkualitas. Kenapa? Karena proses industrialisasi pertanian hingga pembangunan industri maritim kelautan Cina yang modern saat ini, sebenarnya merupakan satu jalur kegiatan inti yang sama yaitu mesin DIESEL. Wei Chai Group sebagai spesialis mesin mendapatkan prioritas dalam setiap procurement pemerintah Cina. Kebijakan selama puluhan tahun ini sudah terbukti dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti tingkat hidup yang lebih maju maupun taraf hidup yang lebih bermutu dan produktif.
Perlu kita pahami, konsep industrialisasi Pancasila itu seharusnya berbeda dengan konsep Kapitalis Industri. Industrialisasi Indonesia harus dipahami sebagai proses produksi modern yang bisa dilakukan oleh kalangan wirausaha rumahan dan workshop milik Mom & Pop Shop atau istilah Indonesianya workshop yang dimiliki emak dan bapak di masyarakat. Mereka yang bekerja untuk penghidupan sehari-hari karena kebutuhan bukan karena keserakahan ingin menguasai. Yang perlu di Industrialisasikan itu adalah UKM. Pertumbuhan pelaku industri modern dan industrialisasi UKM seharusnya menjadi tolak ukur pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam konsep manajemen kebijakan negara, jika acuan kedaulatan adalah kekuasaan, maka kemandirian nasional tentunya akan berpulang kepada “dimana” kekuasaan itu berada, dan “bagaimana” kekuasaan tersebut mampu melakukan identifikasi dan inovasi, dalam membela hak individu rakyat untuk hidup modern di tengah kemegahan industrialisasi. Negaralah yang bertugas memastikan distribusi kekayaan sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang-undang NKRI. Ya menurut kami bahasa sederhananya yah “Hanya Negaralah yang berwenang absolut bertugas mengatur PERUT rakyatnya agar terus berisi”.
LAPANGAN KERJA VS KESEMPATAN KERJA!
Menyalahkan sejarah dan terpaku pada struktur sosial ekonomi yang puluhan tahun dirusak oleh sekumpulan keluarga penguasa, bukanlah solusi. Namun, pemerintah Indonesia seharusnya bisa membenahi hal tersebut agar terwujud kesempatan tanding berimbang, kesempatan bekerja dan berusaha yang sama antar pelaku usaha rumahan dan pelaku usaha yang sudah memilki workshop beribu-ribu meter.
Pemerintah Indonesia juga bisa mencontoh kebijakan pemerintah di era keemasan President Soekarno. Beliau memberikan preferensi bagi kaum marginal, dalam pemberian kesempatan berwirausaha dan beasiswa bagi SDM Indonesia. Bisa dimulai dari hal sederhana: Memilih industri dalam negeri dari kualifikasi UKM untuk mengerjakan proyek negara. Presiden Soekarno juga membuka kebebasan dan memberikan preferensi bagi kaum minoritas dan marjinal untuk maju dalam ujian PNS. Presiden Soekarno juga membawa dan menggunakan produk lokal sebagai souvenir maupun promosi saat ia berada dipergaulan internasional.
Sebagai kaum engineer, kami di Metalextra hanya terfokus dalam memahami permasalahan dan mencari solusi. Rumus sederhana dalam ekonomi untuk mengatasi solusi tersebut adalah:
Preferensi kesempatan kewirausahaan + (SDM + SUBSIDI produktif +akses permodalan) – Birokrasi = Lapangan pekerjaan.
Kenyataanya, pemerintah Indonesia saat ini bisa kita kritisi kurang tanggap dalam hal ini. Kaum birokrat yang terbiasa dengan ruangan kerja mewah dan perut gembul sudah merasa nyaman terbiasa dengan memberi janji kosong dan tidak malu mendapat insentif gaji besar. Banyak dari kaum birokrat ini tidak tahu atau tidak memahami kalau Industri yang memberikan banyak lowongan kerja dan penghasilan pajak negara itu berawal dari ratusan industri 1.0 dan 2.0 yang sederhana terdiri dari pengrajin individu dengan karyawan beberapa orang. Ya mereka teman dan customer kami yang memiliki workshop rumahan dan mesin seadanya itu.
UKM YANG BEKERJA = MEMBERI MAKAN MANUSIA INDONESIA
Indonesia saat ini berada dalam track keterdesakan menuju kemandirian Industri. Hal ini ditandai ketika Negara sukses menciptakan “interdependensi” antara terjadinya proses system produksi, dan bagaimana memiliki kemampuan dalam melakukan perbaikan teknologi pada system tersebut, industri tanpa mesin produksi dan perkakas kerja yang cerdas hanyalah seperti manusia tanpa busana yang tidak ada bedanya dengan mahluk primata lainnya. Yang membedakan manusia antar bangsa adalah kemampuan dan produk hasil penguasaan “teknologi” yang membawa kehidupan yang lebih baik.
Revolusi Industri Generasi ke-4 itu BUKANLAH katalisator atau BUKANLAH kaca benggala penumbuhan daya saing industri berbasis inovasi dan teknologi. REVOLUSI INDUSTRI 4 itu terlahir dari kapitalisme yang mengejar efisiensi absolut yaitu tidak menggunakan manusia dalam proses ekonomi! Jika dibiarkan, the 4th Industrial Revolution itu merupakan ancaman serius ANTI-PANCASILA! Kenapa? Karena sipemilik modal bisa dengan mudah membeli peralatan full automation yang bisa dikontrol segelintir orang, atau justru mempermudah memindahkan pabrik tersebut kenegeri asalnya yang tidak memilki idealisme sosialis seperti “Universal Basic Income” ataupun “Keadilan sosial” seperti sila ke 5 dalam PANCASILA.
Salah-satunya cara untuk siap bersaing ya harus dengan kompetitif sekaligus protektif. Pemerintah membuat proyek manufaktur nasional dengan kordinasi BUMN dan komponen buatan perusahaan UKM lokal. Jika kita mencontoh Jepang, maka kita akan sadar bahwa Indonesia butuh banyak sekali “TAKUMI” atau pengrajin dan “MACHI KOJO” atau pabrik kampung rumahan.
Hal ini bisa kita lihat di kawasan industri galangan Kapal di Batam maupun Surabaya. Setelah robohnya dan bangkrutnya galangan di Batam, ada lebih dari 200 ribu orang pulang kampung dan keluar dari Batam. Ekonomi orientasi export tidak cocok untuk kota industri. Kota industri harusnya terbuka untuk pasar lokal juga. Kaum politisi lokal tidak salah, karena mereka memang tidak memilki kekuatan dan pengaruh pengaturan permodalan wirausaha. akhirnya, Kota batam menderita kesulitan ekonomi dan meningkatnya krimininalitas. Mengapa? Karena Heavy industries itu umumnya merupakan industri padat modal, butuh lahan luas dan padat kerajinan tangan berteknologi rendah yang selama ini dikuasai segelintir orang saja. Saat ekonomi eksport melemah, segelintir orang tersebut justru menguasai lahan yang tidak produktif, pemerintah setempat pun tidak memiliki kuasa untuk mengambil dan menyalurkan tanah non-produktif tersebut ke wirausaha lain.
Memang, Heavy-Industries seperti industri galangan kapal ini diseluruh dunia masih setaraf Industry 2.0 yang padat karya. Industri padat karya inilah yang seharusnya didukung pemerintah untuk menunjang lapangan kerja. Namun, sayangnya, hingga 2019 lalu, BUMN terbesar Indonesia Pertamina justru membeli tanker baru dari Korea Selatan dan Cina…
INOVASI TEKNOLOGI MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL
Beragam tulisan, pamflet orang pemerintah dalam acara seremonial pidato politisi yang menyinggung Industrial Revolution generasi ke 4 sungguhlah muak dan lucu bila kita simak. Mereka tidak paham, atau setidaknya siapapun yang membuat teks pidato mereka itu. Sebagai pelaku Industri, kami melihat dengan mata kepala kami sendiri, kaum industrialis bermodal tebal menggunakan sistem automation untuk bisa menekan efisiensi yang datang dari pemerintah lokal yang seenak perut gembulnya menaikkan taraf Upah Minimum Regional.
Ketika lowongan kerja semakin tinggi syaratnya, pemerintah lokal justru terus menaikkan “pajak” dengan menaikkan UMR tanpa memperhatikan strata pendidikan dan keahlian dari pekerja industri tersebut. Akhirnya kaum kapitalis mencari solusi, yaitu dengan Mesin pintar Industri 3.0 dalam prosesnya dan bahkan menjadi Industri 4.0. yang minim pengawasan operator manusia. Akhirnya pekerjaan yang dilakukan 1000 orang di Industri 2.0, menjadi 500 orang di Industri 3.0 dan akhirnya bisa dilakukan 50 orang expat maintenance engineer bergaji besar dengan mesin yang tidak minta lembur apalagi cuti.
Kaum politisi jadul ini tidak memahami kalau Industrial revolution itu intinya adalah “MENGGANTI MANUSIA DENGAN MESIN”. Hal ini membuat kaum kapitalis industri bermodal besar bisa menikmati keuntungan maksimal, mengurangi setoran pajak penghasilan tanpa perlu dan peduli dengan berapa banyak orang yang akan dipecat dan nasib mereka kemudian. Contoh nyata yaitu perusahaan elektronik asal Perancis yang tekenal di Batam, mereka bisa mengontrol mesin dan melihat suhu operasional mesin di Batam dan melihat absen karyawan, monitoring langsung via jaringan ethernet dan perabot perkakas Internet of Things. Bukanlah hal aneh jika melihat industrialis besar mengembangkan investasi dan memperluas pabrik tapi jumlah orang operatornya dan lowongannya malah berkurang dan bisa cukup dihitung oleh jari kaki dan tangan.
Memang dengan inovasi dan penyelarasan teknologi sajalah kelak Industri Gen-4 yang berbasis pada Teknologi Informatika di Indonesia dapat diwujudkan. Tugas pemerintah seharusnya memahami aplikasi Industry 4.0 itu karena justru SDM masyarakat dan SDM PNS negeri ini TIDAK SIAP!. PNS Kementrian perindustrian dan Dirjen Pajak di Indonesia seharusnya bisa membatasi dan menerapkan PAJAK Automation dan Tarif bea masuk tinggi untuk robot industri tersebut. Ide ini kami dapat dari salah satu kandidat president Amerika Serikat, Andrew Yang. Menurut pengamatan Pak Andrew Yang, manufaktur Amerika serikat memang tinggi pertumbuhannya dan nilai efisiensinya namun rendah jumlah tenaga kerjanya. Menurut kami, hal yang sama juga sedang terjadi di Indonesia.
Sebagai pelaku kerja pemerintah, tugas kaum PNS Indonesia juga sangatlah berat. Kaum PNS tersebut tidak memiliki dasar industri dan pengalaman kerja didunia manufaktur, namun bertanggungjawab untuk mere-inventing dan menata-kelola kekayaan intelektual negara. Lucu sekali rasanya jika mereka PNS freshgraduate dan politisi yang menjadi fondasi utama ini. Tugas promosi dan menggerakkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi serta kemakmuran masyarakat seharusnya datang dari mereka yang memiliki pengalaman industri. Ini sama seperti memaksa kucing untuk berenang, padahal ada banyak Ikan yang lebih terampil.
INDONESIA MENJADI NEGERI INDUSTRIALIS
Konsep system inovasi nasional saat ini (Januari 2020) itu menurut kami di Metalextra adalah omong kosong. Inovasi itu terjadi karena proses penyelesaian masalah dalam segala keterbatasan. Inovasi bukan berarti membeli peralatan mahal semata, tetapi juga pemberian kesempatan dan penggantian manusia pemimpinnya. Inovasi bisa dilakukan jika SDMnya memiliki kompetensi hasil dari sistem meritocracy.
Kami salut dengan Pemerintah Jokowi jilid 2 yang mengangkat figur meritocracy seperti Nadiem Makarim generasi milenial menjadi mentri pendidikan. Jika pemerintah masih mengandalkan manusia Baby Boomer untuk memimpin dan menginspirasi dari sektor yang sangat terpengaruh teknologi, ini merupakan hal yang lucu. Mengapa? Karena tantangan zaman sudah berubah dan kebijakan pemerintah ala orde baru yang melindungi kapitalis besar justru akan menekan dan membunuh kalangan UKM.
Solusinya apa? Kunci sukses negara besar seperti Cina, Jepang dan Jerman adalah BUMN. Semestinya BUMN menjadi patron baru industrialisasi bagi Indonesia dan perluasan lapangan kerja produktif bagi penduduk yang jumlahnya semakin bertambah memenuhi sudut-sudut kota dan desa. BUMN bisa memilih suppliernya dari kalangan UKM dan memberikan kesempatan tersebut tanpa mempedulikan berapa banyak uang “masuk” yang bisa disetorkan oleh pengusaha rumahan tersebut.
Pemerintah Indonesia juga harus mampu mendorong UKM menuju Industry 3.0. Upaya dalam merealisasikan “peningkatan-cepat” pertumbuhan ekonomi merupakan “potret” kebijaksanaan pemerintah. Hal itu dapat dijadikan sebagai ukuran kuantitatif scenario pembangunan berkelanjutan melalui “direktif kebijakan yang matang dan komprehensif”. Kebijakan nasional melalui redistribution with growth pembangunan 1000 industri yang ditunjang dengan inovasi dan kemajuan teknologi diyakini dapat “membangunkan” gairah nyata menuju pertumbuhan dan kemakmuran serta menjadi ukuran utama keberhasilan pembangunan nasional.
Pembangunan 1000 industri berbasis inovasi dan teknologi dapat menjadi puncak pendorong campur tangan pemerintah yang elegan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran. Erik Reinert dalam bukunya “How Rich Countries Got Rich and Why Poor Countries Stay Poor” memberikan penjelasan yang sangat nyata dari bangkitnya Inggris di abad ke-19, kebangkitan AS, Jerman, Jepang dan Uni Soviet pada abad 20, hingga lahirnya negara-negara industri baru seperti Korea, Taiwan, dan sekarang China, yaitu Industrialisasi merupakan kunci utama kemakmuran.
LAPANGAN KERJA UNTUK SIAPA?
Lapangan pekerjaan di era modern Indonesia saat ini, baik langsung atau tidak langsung, TIDAK memiliki ketergantungan kronis pada Industri Gen-4 yang system dan prosesnya tergantung pada teknologi informatika. Mengapa? Karena alasannya sederhana, sistem teknologi manufaktur Indonesia itu 80% masih berada di level Revolusi Industri 2.0 dan 19% di Industri 3.0. Dapat angka darimana bos? Pengamatan kita keliling keluar masuk manufaktur ternama di Indonesia dan melihat data JETRO tentang volume eksport mesin industri ke Indonesia (Cari sendiri yah). Wah berarti apa yang disebut para politisi itu salah dong tentang Revolusi Industri 4.0? Betul, mereka tidak paham sama sekali.
Kenyataannya industri UKM di Indonesia hanyalah sanggup ditahap Industri 2.0, beberapa jenis usaha yang ditangani generasi kedua sudah mampu menuju 3.0. Tapi sampai kapan mereka bisa bertahan? Dosa orde baru sukses mendorong hanya segelintir keluarga tertentu untuk menikmati proteksionisme dan subsidi yang salah sasaran. Maka tidaklah heran jika Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang bisa menghasilkan Trilioner dari kalangan swasta dengan sangat cepat, hanya butuh 1-2 generasi. Padahal belum ada satupun perusahaan global dibidang manufaktur yang memilki pertumbuhan untuk memperkaya pemiliknya secepat Indofood, Wingsfood, Astra dan ribuan perusahaan semu di lantai bursa saham yang pemilik asli dibelakangnya hanya itu-itu saja orangnya.
Jika ada yang mengira teknologi canggih itu berawal dari SDM lulusan universitas luar negeri dan mesin modern, menurut kami itu tak sepenuhnya benar. Teknologi canggih mesin pesawat tempur Amerika serikat F-22 dibuat oleh subkontraktornya Mitsubishi yang berteknologi canggih dari production line presisi tinggi, tetap saja ada komponen body, aerodynamics dan bahkan jet propulsionnya masih dibuat oleh “Machi Kojo” atau bengkel kecil rumahan di pinggiran kota Tokyo yang masih berteknologi Industry 2.0. Pemerintah Indonesia seharusnya meniru kebijakan yang sama. Di Jepang, Semangat “Takumi” dan “Machi Kojo”, sukses mendorong Toyota, Takeda, Sumitomo, Mitsui, Mitsubishi dan ratusan industrialis presisi Jepang dalam memproduksi jutaan produk layak eksport.
Jika negara “berani” maju mendorong UKM Indonesia menuju industry 3.0 dengan dukungan BUMN dan mempermudah arus investasi mesin dan perkakas dasar bagi kalangan UKM ini, maka otomatis akan memberikan puluhan juta lapangan kerja baru, dan dapat dijadikan “vaksin” untuk memberantas pengangguran. Realitanya operator pengepakan pabrik, maupun operator knurling mesin bubut tidak butuh gelar sarjana, hanya butuh SDM bisa baca tulis setaraf SMP dengan fisik yang sehat dan sanggup mengejar target produksi.
Revolusi industri volume tiga ditengarai oleh perkembangan semikonduktor dan proses otomatisasi industri. Dengan kata lain, dunia sedang bergerak memasuki era digitalisasi. Industri manufaktur, industri kesehatan, industri pertanian dan sebagainya. Sesuatu yang UKM Indonesia masih tertinggal sekali.
Sistem produksi massal merupakan dasar dari Industri 3.0. Mesin Automation atau Otomatisasi peralatan industri menggantikan peran manusia dalam prosesnya. Dari pengepakan produk jamu kedalam botol hingga alur conveyor belt yang memudahkan proses perakitan, itu semua masih dalam kategori Industri 3.0. Jika pemerintah mendorong kalangan usaha manufaktur ke arah industri 3.0, maka tingkat produktifitas kerja pasti akan bertambah. Akan tetapi pada sisi yang lainnya tentunya ada resistensi dari para pekerja yang merasa pekerjaannya terancam tergantikan oleh peralatan yang mampu bekerja secara otomatis.
MENUJU LABEL “MADE IN INDONESIA” 2045
Wirausaha penggerak ekonomi Indonesia sebenarnya masih rendah penetrasi teknologi industri 3.0 dan bahkan industri 2.0. Akhirnya barang bernilai tinggi sulit dibuat atau terlalu mahal ongkosnya. Kami juga sering mengamati industri pengrajin kulit sapi yang tidak menggunakan alat ukur thickness gage maupun durometer karena tidak mengetahui kalau kulit mahal tersebut ada standard elastisitasnya. Kami sebagai pedagang alat ukur menjadi mediator dan mentor bagi UKM, padahal ini merupakan tugas dinas UKM terkait. Masih banyak industri rumahan pengelolaan minyak goreng curah misalnya masih manual dan kualitasnya masih amburadul tak menentu dan tidak terstandar. Akses keuangan bagi pengrajin ini pun minim, akhirnya mereka tidak mampu membeli mesin terkait maupun menjamin keselamatan dan proses pedidikan skill bagi pekerja dan pegawainya. Mau membeli mesin bekas? selalu saja ada pihak PNS Indonesia yang mempersulit perijinan dan biaya cukai masuk. Hal ini justru mempersulit Industri UKM maju menuju Industri 3.0, yaitu produksi massal yang terstandar.
Tanpa arah dan target yang jelas, kebijakan industri di Indonesia ini akan dengan mudah di setir kalangan industrialis Zaibatsu lokal. Zaibatsu lokal memiliki uang kapital untuk membayar politisi membuat mereka menikmati subsidi dan terus lingkaran setan itu tidak akan pernah selesai. Kami sendiri melihat, kaum PNS yang bertugas membina kalangan UKM tidak bisa berbuat banyak. Disamping mereka minim pengalaman dan pengetahuan terkait industri, pemerintah Indonesia juga tidak memberikan kebijakan yang tepat. Misalnya poros maritim, yang dimaksud presiden Jokowi itu apa? Apakah pengembangan kapal alumunium bagi nelayan 24 meter di galangan kecil ukuran 2000 meter? Subsidi dan skema kredit bagi nelayan yang membeli kapal rakitan lokal? Kandungan mesin dan transmisi buatan lokal? apasih maunya pemerintah tentang POROS MARITIM? Berapa lama timelinenya? Tidak ada yang tahu bukan? Karena memang tidak ada langkah kerja konkrit.
Pada satu sisi, perkembangan teknologi digital ini mempermudah pekerjaan manusia, terutama industrialis nasional. Industrialis nasional seperti Indofood sudah menikmati headstart selama 40 tahun lebih dan memiki modal tebal untuk membeli peralatan dan perlengkapan canggih Industri 4.0. Jika pemerintah tidak bertindak lanjut, pengusaha rumahan maupun pengrajin tersebut pastinya akan musnah dan menjadi pengangguran. Hal ini bisa kita lihat sendiri dengan menjamurnya kapitalis minimarket mereka Indomaret dan Alfamaret yang sukses membuat ibu rumahtangga dan warung rumahan menjadi pengangguran.
KESIMPULAN
Target pemerintah Jokowi dalam membuka 1 juta lowongan kerja itu sangatlah kecil untuk ukuran Indonesia. Seharusnya lebih ideal jika target 10 Juta lowongan kerja, karena mengingat populasi Milenial dan generasi Z saja sudah mencapai 70 juta jiwa (perkiraan 2019). Program pembukaan lowongan kerja bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan rincian:
-
Efisiensi & tata ulang BUMN keseluruhan, bila perlu dijual ke bursa saham agar bisa dimiliki dan dikontrol oleh masyarakat umum.
-
Mewajibkan perusahaan Zaibatsu Indonesia yang saat ini dimilki segelintir keluarga tertentu untuk divestasi paksa menjadi BUMN
-
Mengharuskan perusahaan asing untuk terlibat dalam usaha patungan dengan perusahaan lokal BUMN dan perusahaan UKM sebagai imbalan perlakuan istimewa di pasar dalam negeri.
-
Alih Teknologi menjadi prasyarat sejalan dengan potongan bea-cukai dan tarif impor terhadap barang atau komponen dari negara lain yang masuk ke Indonesia. Mengedepankan persentase konten-lokal pada barang yang dijual di Indonesia.
-
Dukungan perbankan dengan membuat biaya kredit kepemilikan mesin dan alat kerja produktif lebih murah dari kredit kendaraan maupun kredit konsumtif.
-
Menerapkan tarif pajak korporasi dan penalty yang lebih besar pada perusahaan dengan nilai investasi besar yang tidak seimbang dengan kontribusi pajak.
-
Semua proyek pemerintah dan procurement diwajibkan lokal dan dibuat oleh dalam negeri.
-
Menghapus ataupun menurukan pajak jual-beli dan transaksi lebih rendah dari 7% untuk setiap usaha dalam batas tertentu dan membuka keran import alat produksi dan mesin bekas seluas-luasnya, tanpa pajak bagi kalangan UKM yang modalnya dalam taraf tertentu.
-
Menaikkan harga barang konsumsi hasil produksi massal Industri 4.0
-
Subsidi pendidikan informal (kursus keterampilan & kursus PJTKI) dan pendidikan kejuruan serta menghapus subsidi pendidikan formal tidak wajib belajar (pendidikan tinggi perkuliahan dan pendidikan non-kejuruan seperti SMA).
-
Mereview kembali perdagangan bebas ASEAN-China dan menerapkan tarif Pajak Automation penunjang Industri 4.0 layaknya seperti pajak kendaraan.
-
Menghapus syarat UMR berdasarkan jenis industri. UMR selayaknya hanyalah berdasarkan regional tempat tinggal bukanlah berdasarkan industri pemberi kerja. Lucu rasanya melihat gaji guru dan tenaga medis yang lulusan perkuliahan lebih rendah dari buruh pabrik elektronik.
Metalextra menawarkan solusi perangkat kerja presisi berkualitas tinggi. Berbeda dengan pesaing kami yang berjualan tong sampah dan alat kerja non-presisi yang dicampur aduk, kami merupakan satu-satunya spesialis presisi asli Indonesia yang paham dan mengerti cara cerdas untuk mengejar kesempurnaan dan toleransi yang ketat.
Jangan ragu untuk mencari bantuan dari spesialis yang dapat membantu Anda memilih yang akan memberi Anda manfaat maksimal. Hubungi kami melalui chat online yang ada di pojok kanan bawah website ini atau melalui email : moc.artxelatem @selas Semoga bermanfaat. Wassalam!
Sumber:
Tim Kreatif Metalextra.com, Tulisan ini merupakan opini Pribadi di media milik sendiri.