News
Industri manufaktur merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia
Selama ini industri pengolahan nonmigas atau manufaktur selalu memberikan kontribusi paling besar terhadap ekspor nasional. Sektor manufaktur kembali membuktikannya dengan mencatatkan nilai pengapalan hingga USD60,14 miliar pada semester pertama 2019.
Angka ini mewakili 74,88 persen dari total nilai ekspor nasional yang mencapai USD80,32 miliar selama periode tersebut. Kontribusi yang sangat besar ini menunjukkan bahwa produk manufaktur nasional mampu memenuhi kualitas dan diterima di pasar internasional.
MANUFAKTUR JADI ANDALAN EKSPOR NASIONAL
Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, tiga sektor penyumpang paling besar yakni industri makanan dengan ekspor senilai USD12,36 miliar, industri logam dasar USD8,14 miliar, serta industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia USD6,37 miliar. Sektor lainnya yang berkontribusi signifikan, di antaranya industri pakaian jadi dengan ekspor senilai USD4,06 miliar, industri kertas dan barang dari kertas USD3,55 miliar, serta industri karet, barang dari karet dan plastik USD3,48 miliar.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menandaskan, capaian ekspor tersebut menunjukkan bahwa manufaktur berperan penting sebagai penggerak utama perekonomian nasional. Kemenperin mendorong sektor manufaktur lebih gencar mengisi pasar global.
Peningkatan ekspor dengan mengoptimalkan utilisasi industri dan memperluas pasar luar negeri sekaligus menjadi salah satu solusi untuk mengatasi persoalan defisit neraca perdagangan. “Oleh karena itu, pemerintah bertekad untuk terus menciptakan iklim investasi yang kondusif serta memberikan kemudahan perizinan usaha dan insentif bagi industri,” kata Menperin.
Guna memacu kapasitas produksi, diperlukan investasi. Utilisasi kapasitas industri juga diharapkan terus meningkat, sebab kapasitas yang semakin besar akan mendorong ekspor ke pasar tradisional dan pasar baru yang potensial. Menurut Airlangga, peningkatan investasi dan ekspor merupakan dua faktor kunci dalam memperkuat daya saing, selain dapat memperbaiki struktur perekonomian nasional saat ini.
Beberapa sektor yang menjadi perhatian saat ini, yakni industri padat karya berorientasi ekspor dan industri penghasil substitusi bahan baku impor. Kedua sektor ini dipacu sejalan dengan program prioritas Making Indonesia 4.0. Dengan pemanfaatan teknologi industri 4.0 di kedua sektor ini, dia optimistis produk yang dihasilkan akan lebih efisien dan berkualitas sehingga semakin kompetitif di pasar internasional.
TOPANG EKONOMI
Selain kontribusi terhadap ekspor, industri manufaktur juga berkontribusi paling besar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional pada triwulan kedua 2019 yakni 19,52 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, industri pengolahan merupakan sumber pertumbuhan tertinggi pada perekonomian nasional pada triwulan II 2019 sebesar 0,74 persen.
Sektor lain yang turut berkontribusi, di antaranya pertanian 0,71 persen, perdagangan 0,61 persen, dan konstruksi 0,55 persen. Berdasarkan data itu, tiga sektor yang menopang pertumbuhan industri manufaktur yaitu industri tekstil dan pakaian jadi yang melejit hingga 20,71 persen, disusul industri kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media rekaman yang tumbuh 12,49 persen, serta industri makanan dan minuman 7,99 persen.
Kinerja ketiga sektor tersebut mampu melampaui pertumbuhan ekonomi yang tercatat sebesar 5,05 persen pada periode yang sama. Secara keseluruhan, pada triwulan kedua 2019, industri pengolahan nonmigas atau manufaktur tumbuh 3,98 persen. “Kinerja industri manufaktur masih tumbuh positif. Semangat dan kepercayaan diri dari pelaku usaha untuk berinvestasi dan ekspansi juga masih tinggi,” kata Menperin.
Dia mengatakan Indonesia masih menjadi negara tujuan utama untuk investasi, bahkan menjadi basis produksi para produsen global untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor. Airlangga bahkan optimistis Indonesia mampu menjadi pusat manufaktur di kawasan Asia Tenggara. Apalagi, beberapa sektor industri telah memiliki struktur industri yang dalam, mulai dari hulu sampai hilir. Misalnya, industri otomotif, tekstil dan pakaian, makanan dan minuman, logam dasar, dan kimia.
Menurut Menperin, Indonesia hampir sejajar dengan Jerman, yang kontribusi sektor manufakturnya berada di angka 20,6 persen. Bahkan, menjadi yang tertinggi di Asean. Sementara itu, posisi teratas ditempati China (28,8 persen), disusul Korea Selatan (27 persen) dan Jepang (21 persen).
Saat ini, negara-negara industri lainnya di kancah global, kontribusi sektor manufakturnya terhadap per- ekonomian rata-rata sekitar 17 persen. Mereka itu antara lain Turki, Meksiko, India, Italia, Spanyol, Amerika Serikat, Rusia, Brasil, Perancis, Kanada dan Inggris. Melihat kontribusi sektor manufaktur yang cukup besar itu, dia mengatakan tidak tepat kalau Indonesia dikatakan sebagai negara yang mengalami deindustrialisasi. Apalagi, tuturnya, Indonesia kini masuk dalam 16 besar negara yang memiliki perekonomian terkuat di dunia.
Kemenperin sendiri memasang target pertumbuhan industri nonmigas sebesar 5,4 persen pada tahun 2019. Adapun sektor-sektor yang diproyeksikan tumbuh tinggi, di antaranya industri makanan dan minuman, industri permesinan, industri tekstil dan pakaian jadi, serta industri kulit barang dari kulit dan alas kaki. “Industri manufaktur merupakan tulang punggung bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu menjadi sektor andalan dalam memacu pemer- ataan terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang inklusif,” ujar Menperin.
Sumber: Kementrian Perindustrian Indonesia