Business, History & Origin, Manajemen
Made in Japan kok mahal?
Negeri matahari terbit atau juga dikenal sebagai kampung petarung Karate, Kesatria Samurai, seniman wanita Geisha dan ahli mata-mata Ninja, merupakan budaya populer asal Jepang yang dikenal di Indonesia maupun seluruh dunia. Negeri diujung timur Asia ini menjadi jantung dari industrialisme Asia karena sejarah panjang negeri Jepang dalam mengejar ketertinggalan dari bangsa Bule. Politisi Jepang juga banyak yang memfokuskan kebijakan nasionalnya dan karirnya dengan prestasi mereka dibidang industri produk presisi serta perdagangan.
Barang dan jasa yang diimpor dari Jepang memang memiliki reputasi baik. TETAPI, kenapa sih di Indonesia barang presisi dan perkakas kerja bermerek Jepang jarang terlihat menampilkan cap “MADE IN JAPAN” lagi? Kenapa kok harganya “Made in JAPAN” atau “JAPAN MADE” lebih mahal? kenapa ada produk yang berani mencantumkan tulisan JAPAN atau JAPAN TECHNOLOGY padahal dibuat dinegeri lain?
SEJARAH REVOLUSI INDUSTRI JEPANG
Apa kesamaan perusahaan Jepang seperti pembuat kamera Nikon, produsen mobil Mitsubishi Motors dan Subaru, pembuat peralatan olahraga Mikasa dan perusahaan produk susu Morinaga Milk? Mereka termasuk di antara 1.118 perusahaan yang didirikan pada tahun 1917, menurut perusahaan riset pasar Tokyo Shoko Research, dan sekarang berusia seratus tahun.
Tetapi perusahaan-perusahaan ini sering berubah secara dramatis sejak didirikan. Misalnya, Subaru mulai beroperasi pada Mei 1917 sebagai Nihon Hikoki dan Nakajima Aircraft, dan perusahaan tersebut awalnya memproduksi pesawat. Mobil Subaru pertama diproduksi setelah Perang Dunia II. Misalnya; Nikon didirikan pada Juli 1917 sebagai Nippon Kogaku Kogyo dan awalnya membuat teropong, mikroskop dan lensa. Produksi kamera perusahaan Nikon juga baru dimulai setelah perang. Yokohama Rubber dimulai pada Oktober 1917 sebagai pembuat kawat. Pabrik ban pertama didirikan tiga tahun kemudian. Saat ini Yokohama bahkan sudah menginvestasikan teknologi dan pabrik di Indonesia. Juga, produsen peralatan olahraga Mikasa didirikan pada Mei 1917, awalnya untuk produksi bahan karet.
Fase pertama revolusi industri Jepang dimulai pada pertengahan tahun 1880-an yang didorong sebagai langkah nyata revolusi Meiji yang dilakukan Kaisar Jepang untuk mengejar ketertinggalan dengan bangsa Eropa dan Amerika. Pengejaran kemampuan industri ini dilakukan relatif cepat yang dimulai dengan pemberian beasiswa besar-besaran pada pelajar berprestasi diseluruh Jepang untuk bersekolah diluar negeri dengan ikatan dinas. Disaat yang bersamaan pengembangan industri ringan, bank, transportasi, dan pengerjaan. Revolusi industri ini diikuti oleh industri berat, termasuk pembuatan kapal dan pembuatan ban serta produksi mesin dan mesin.
Revolusi industri Jepang yang kedua muncul karena dorongan Perang dunia I di Eropa. Pada saat itu revolusi industri kedua menguntungkan bagi perekonomian Jepang yang sudah mulai teratur karena sudah menganut sistem ekonomi ala Belanda, manajemen tata kota dan manajemen buruh ala Inggris, teknik industri ala Swiss dan sistem pendidikan adopsi dari Jerman. Pada bulan Oktober 1917, produsen mobil pertama Jepang Mitsubishi Motors juga diluncurkan.
Ledakan dalam pendirian bisnis baru ini merupakan konsekuensi dari Perang Dunia I. Banyak perusahaan di Japan saat itu menerima pesanan besar tidak hanya dari militer Jepang tetapi juga dari negeri lain. Perang tersebut mengganggu tatanan kekuasaan global dan kolonial yang masih kita rasakan sampai sekarang. Rantai pasokan Rusia, misalnya, kehilangan akses ke pasar di Jerman dan Austria-Hongaria, memaksa Moskow untuk membeli senjata meriam howitzer dan amunisi dari mantan musuhnya Jepang mulai musim semi 1915. Perancis juga memesan 12 kapal perusak dari Jepang pada 1917. Saat itu negara Eropa tidak dapat membangun mesin tempur sendiri karena perang yang merusak pabrik dan pekerjanya yang tewas maupun mengungsi.
“Perang di Eropa mempercepat industrialisasi Jepang, karena impor tiba-tiba menurun dan barang-barang harus diproduksi sendiri oleh Jepang,” kata Franz Waldenberger, direktur Institut Jerman untuk Studi Jepang, sebuah lembaga penelitian yang berbasis di Tokyo.
Pada saat itu, kalangan industrialis, akademis dan ikatan keluarga pedagang Jepang berhasil untuk sepakat dan membangun basis industri yang memadai, termasuk persediaan modal, pekerja terampil dan teknologi, dan siap memanfaatkan peluang baru yang dihadirkan pasar dunia. Perusahaan tersebut didirikan oleh ratusan keluarga Shokunin atau pengrajin dan Hanbaisha atau pedagang asli orang Jepang dengan latar-belakang yang bisa ditelusur hubungannya kepada struktur marga keluarga Shogun (Kesatria) maupun Daimyo (tuan tanah) pendukung kaisar Jepang saat revolusi Meiji.
Menurut pendapat kami, negeri Bule Eropa meminati produk Jepang setelah kemenangan Jepang terhadap Rusia yang terjadi tahun 1905 sebelumnya. Melihat Rusia sebagai saingan di daratan Asia, Kerajaan Jepang menawarkan untuk mengakui dominasi kedaulatan Kerajaan Rusia di Manchuria dengan imbalan pengakuan Korea sebagai dalam lingkup pengaruh Jepang. Namun Kerajaan Rusia saat itu menolak dan menuntut pembentukan zona penyangga netral antara Rusia dan Jepang di Korea utara paralel ke-39. Namun, Pemerintah Kekaisaran Jepang menganggap ini sebagai menghalangi rencana mereka untuk ekspansi ke daratan Asia dan memilih untuk berperang. Setelah negosiasi gagal pada 9 Februari 1904, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang menyatakan perang dengan serangan mendadak terhadap Armada Timur Rusia di Port Arthur, semenanjung Liáo dōng yang saat ini dikenal sebagai provinsi Liaoning di Cina Timur Laut, Republik Rakyat Tiongkok.
Meskipun Rusia menderita sejumlah kekalahan, Kaisar Nicholas II tetap yakin bahwa Rusia masih bisa menang jika terus berjuang dalam perang dan menunggu hasil dari pertempuran laut utama dan menolak tawaran damai Jepang untuk membawa sengketa ke Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag. Namun akhirnya, perang itu dimenangkan Jepang dengan Perjanjian Portsmouth 5 September – 23 Agustus 1905, yang dimediasi oleh Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt. Kemenangan penuh militer Jepang mengejutkan dunia internasional dan mengubah keseimbangan kekuatan di Asia dan Eropa, yang mengakibatkan munculnya Jepang sebagai pemenang dan kerugian besar bagi Kerajaan Rusia. Kekalahan Rusia sebagai bangsa Bule yang kalah memalukan berkontribusi pada meningkatnya kerusuhan perang saudara di Rusia yang memuncak dalam Revolusi Rusia ditahun 1905.
Permintaan Eropa dan dunia bule akan barang-barang militer buatan Jepang ini mendorong industri ekspor Jepang di periode 1910an hingga 1940an. Dengan permintaan yang tinggi dari ekonomi Perang, negeri Jepang yang minim sumberdaya alam pun berusaha untuk membuka paksa akses kedaratan Asia dengan menguasai Korea hingga areal pertambangan di daratan Machuria Mongol, daratan China dan daratan dingin Rusia.
Untuk menghindari perselisihan usaha dan menyatukan modal, perusahaan besar Jepang saat itu mendirikan “Japan Industrial Club” atau persatuan konglomerasi atau Zaibatsu / Keiretsu pada Maret 1917, di mana Mitsui dan Mitsubishi memainkan peran dominan sebagai pengendali arus keuangan dan investasi. Dengan slogan “pembangunan ekonomi”, mereka mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah Jepang, militer dan partai politik, menurut sejarawan Jepang Kiyoshi Inoue. Pada tahun 1917, lembaga RIKEN, sebuah lembaga penelitian besar yang komprehensif, juga didirikan.
Percepatan kegiatan ekonomi akibat perang bahkan mempengaruhi pertanian Jepang, yang menurut para sejarawan, tiga kali lipat nilai produksinya antara tahun 1914 dan 1919. Sistem pasokan dari negeri lokal Jepang sendiri sempat tersendat karena keterbatasan lahan. Pemilik modal di Jepang yang berskala besar memperluas area pertanian mereka dan makanan yang diproduksi secara teknik industri. Pada bulan September dan Desember 1917, cikal bakal Morinaga Milk dan Meiji Dairies muncul. Produk pertama mereka adalah susu kental. Ada juga permintaan dari militer Jepang untuk ini.
Pada bulan Desember 1917, delapan perusahaan milik keluarga pabrik kecap dari kedelai bergabung untuk membentuk pendahulu Kikkoman, dalam upaya untuk melanjutkan bisnis mereka dalam skala industri. Namun, booming ini segera berakhir karena pada tahun 1923, gempa bumi dahsyat menghancurkan ibu kota Tokyo, dan pada awal tahun 1930-an Jepang, bersama dengan Barat, menghadapi krisis ekonomi yang parah.
Tetapi fakta bahwa banyak perusahaan Jepang yang didirikan pada tahun 1917 telah berhasil bertahan hingga hari ini, berkaitan dengan praktik ketenagakerjaan yang stabil di negara itu, kata pakar Jepang Waldenberger. “Karena sistem kerja seumur hidup, pekerja di Jepang tidak langsung dipecat saat krisis, melainkan perusahaan mencoba mengembangkan area bisnis baru,” jelas ekonom Jerman itu. Perusahaan yang dimiliki oleh orang asli Jepang memiliki kedekatan personal dengan melindungi kesejahteraan pekerjanya yang juga orang Jepang.
Saat ini, bisa kita lihat sendiri perusahaan Jepang seperti Morinaga menggurita menjadi produsen susu instan dan produk pangan cokelat terkemuka dan Meiji Holdings menjadi salah satu produsen pangan instan terbesar di dunia. Restrukturisasi akibat krisis ekonomi era 1980an di Jepang dimungkinkan sampai tahun 1990-an karena sistem manajemen keiretsu yang menempatkan bank in-house untuk mengambil alih kendali perusahaan bahkan di saat krisis. Strategi tersebut memang mengakibatkan banyak pekerja dan buruh orang Jepang yang di-PHK dan perusahaan subkontraktor Jepang bangkrut namun terbukti berhasil mempertahankan inti usaha utama. Seperti yang ditunjukkan oleh studi yang dilakukan oleh Bank of Korea, yang menyimpulkan bahwa dari lebih dari 3.100 perusahaan di seluruh dunia yang berusia lebih dari 200 tahun, 56 persennya berbasis di Jepang.
MADE IN JAPAN SAAT INI
Jepang memiliki sektor manufaktur yang besar dan sangat bernilai reputasi yang baik dan bisa kita lihat sendiri dari barang Pabrikan otomotif Jepang seperti Toyota, Honda dan Mitsubishi yang juga investor terbesar di Indonesia. Tidak mengherankan jika Jepang menjadi produsen kendaraan terbesar ketiga dunia yang memproduksi 9.278.321 unit mobil pada tahun 2015 saja!.
Walaupun tingkat ekspor manufaktur Jepang telah menurun selama beberapa dekade terakhir, Jepang masih memiliki basis manufaktur yang sangat besar. Selain itu, pabrikan Jepang memiliki hubungan global yang luas, terutama di Asia Tenggara, dengan banyak yang memiliki operasi substansial di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Jepang tidak bergantung pada biaya tenaga kerja yang rendah untuk tetap menjadi lokasi yang kompetitif untuk manufaktur. Sebaliknya, itu bergantung pada desain produk yang inovatif, standar kualitas tinggi dan tenaga kerja manufaktur kelas dunia untuk tetap kompetitif. Pengusaha asal Indonesia yang ingin mengembangkan produk inovatif dan membuatnya diproduksi dengan standar tertinggi dapat meniru cara kerja industri Jepang. Ditambah dengan infrastruktur Jepang yang sangat baik dan hubungan perdagangan internasional di seluruh Asia dan sekitarnya, bekerja dengan manufaktur asal Jepang mungkin terbukti menjadi pilihan tempat kerja yang layak bagi sebagian orang Indonesia.
Manufaktur kontrak, meskipun tidak umum secara historis di Jepang, mendapatkan popularitas juga sebagai model bisnis Jepang terkini. Reformasi usaha dan permodalan serta reputasi Jepang yang dikenal anti perang membuat ekonominya semakin terbuka untuk berinvestasi dinegeri lain yang mampu mengurangi ongkos produksi, perpajakan dan standar pekerjanya lebih murah. Sistem manufaktur kontrak inilah yang membuat pabrikan asal Jepang membutuhkan badan hukum baru dan rekan kerja lokal saat beroperasi diluar negeri, misalnya di Indonesia. Peralihan sistem pabrik dan manajemen produksi global ini membuat banyak pabrikan asal Jepang tidak lagi memiliki produk dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri Jepang (TKDN) dan tidak layak untuk mendapatkan sertifikasi pemerintah Jepang untuk menggunakan label “MADE IN JAPAN” atau “JAPAN MADE”.
Produk mobil merek Jepang yang dirakit di Cikarang Indonesia misalnya, bisa saja menggunakan produk plastik pelet yang dibeli dari Pertamina Indonesia, karet asal Thailand, dan aluminium asal China agar bisa menjaga harga produksinya tetap terjangkau bagi orang Indonesia. Produk mobil Jepang tersebut tentu tidak lagi bisa disebut buatan Jepang. Bagaimana dengan produk yang hanya berlabel “JAPAN” atau “JAPAN TECHNOLOGY”? Tentu saja produk tersebut BUKAN BUATAN JEPANG. Penggunaan label Made in Japan dan Japan Made maupun Japan Industrial Standard diatur oleh pemerintah negeri Jepang dengan nomor registrasi yang terdaftar serta ada biaya perijinan terkait.
PUSAT INDUSTRI MADE IN JAPAN DIMANA SAJA?
Dengan ekonomi yang didominasi oleh jasa dan manufaktur, aktivitas ekonomi di Jepang sangat terkonsentrasi di kota besar Jepang. Industri Jepang terkonsentrasi di beberapa wilayah, dalam urutan kepentingan berikut: wilayah Kanto di sekitar Tokyo, terutama prefektur Chiba, Kanagawa, Saitama dan Tokyo (kawasan industri Keihin); wilayah metropolitan Nagoya, termasuk prefektur Aichi, Gifu, Mie, dan Shizuoka (kawasan industri Chukyo-Tokai); Kinki (kawasan industri Keihanshin); bagian barat daya Honshu dan Shikoku utara di sekitar Laut Pedalaman (kawasan industri Setouchi); dan bagian utara Kyushu (Kitakyushu). Selain itu, terdapat jalur sempit panjang pusat-pusat industri antara Tokyo dan Hiroshima, yang didirikan oleh industri-industri tertentu, yang telah berkembang sebagai kota-kota penggilingan. Ini termasuk Toyota City, dekat Nagoya, rumah dari produsen mobil.
Bidang di mana Jepang menikmati perkembangan teknologi yang relatif tinggi termasuk manufaktur semikonduktor, serat optik, optoelektronik, cakram video dan videoteks, mesin faksimili dan fotokopi, robot industri, dan proses fermentasi. Jepang sedikit tertinggal di bidang-bidang seperti satelit, roket, dan pesawat terbang besar, di mana kemampuan teknik tingkat lanjut diperlukan, dan dalam bidang-bidang seperti desain berbantuan komputer dan manufaktur berbantuan komputer (CAD/CAM), basis data, dan eksploitasi sumber daya alam, di mana kemampuan perangkat lunak dasar diperlukan. Secara garis umum pengelompokkan industri besar di Jepang bisa digambarkan sebagai berikut:
Tohoku: Energi terbarukan, selain manufaktur semi-konduktor, mobil dan peralatan medis, sedang dipromosikan sebagai mesin pertumbuhan masa depan untuk wilayah ini. Kota-kota besar di Tohoku termasuk Sendai, Akita, Aomori, Fukushima, Morioka dan Yamagata.
Chubu berbatasan dengan wilayah Kanto dan Tohoku dan merupakan rumah bagi banyak manufaktur maju Jepang, terutama di sekitar Nagoya, kota terbesar di wilayah tersebut dan rumah bagi raksasa otomotif Toyota. Chubu menyumbang 15 persen dari PDB Jepang dan menghasilkan sekitar 25 persen dari produk manufakturnya.
Shikoku adalah pulau terkecil dari empat pulau utama Jepang, mencakup sekitar 5 persen dari total luas daratan negara itu. Pertanian, perikanan, dan akuakultur merupakan kontributor penting bagi ekonomi lokal, bersama dengan aktivitas bernilai tambah seperti pengolahan makanan. Pembuatan kapal, elektronik dan manufaktur kertas adalah industri sekunder yang penting, sedangkan nanoteknologi dan bioteknologi adalah sektor pertumbuhan.
KENAPA PRODUK “MADE IN JAPAN” MAHAL?
Nilai faktur setiap produk dan jasa memang dibuat dengan perhitungan modal dasar dan biaya ongkos produksi yang sesuai. JIka kita beranggapan bahwa ongkos tenaga manusia dihitung mahal, dengan sistem automation maupun teknologi produksi massal Industry 3.0 saja sudah mampu untuk menekan gaji pegawai. Namun yang membedakan barang buatan Jepang dengan negara lain adalah porsi besaran pajak yang dikenakan kepada industri terkait. Ada banyak komponen pajak yang dikenakan dan umumnya bobot pajak penghasilan yang tinggi akan dibebankan kepada harga jual produk yang ditanggung oleh konsumen. Setiap barang buatan Jepang sebenarnya bisa lebih murah dan bisa sebanding dengan buatan Taiwan atau bahkan lebih murah dari buatan Jerman jika tidak dihitung dengan komponen beban pajak dan kewajiban terkait seperti biaya lingkungan, manajemen sampah, manajemen resiko dan lainnya.
Di Jepang sendiri, tarif pajak pertambahan nilai mencapai 10% dengan penambahan tarif gaji yang bisa dibilang nyaris tidak meningkat dari tahun ketahun. Tarif perpajakan yang dipotong dari penghasilan setiap warga Jepang baik asli maupun orang asing yang bekerja dinegeri itu juga bisa bervariasi dari 5% hingga 45% secara progresif. Tarif pajak penghasilan ini tentu mempengaruhi beban penggajian perusahaan manufaktur Jepang.
Aturannya pajak di negeri Jepang menerapakan sistem progresif, yaitu; semakin tinggi penghasilan kena pajak Anda, semakin tinggi tingkat pajak. Namun, tarif pajak tertinggi 45% hanya dibayarkan pada pendapatan lebih dari Rp.380 juta per bulan atau sekitar 3,8 miliar pertahun relatif hampir sama dengan tarif pajak penghasilan di Jerman. Hal ini belum lagi dihitung dengan pajak korporasi sekitar 15% hingga 23.2% dari penghasilan tutup buku tahun sebelumnya (lebih rendah dari Jerman yang sekitar 43% – 45%). Luar biasa bukan? Kalau anda bertanya “Kenapa Jepang pajaknya tinggi?” kami cuma bisa menjawab kalau orang Jepang dengan populai 125.8 juta jiwa saat ini harus mau bertanggungjawab membayar sanksi dan santunan yang dicicil pada korban perang mereka saat perang dunia kedua dan era kolonial Jepang 1920an dulu.
Perkembangan ekonomi Jepang kemudian menurun diakhir 1980an karena faktor runtuhnya bursa saham Jepang yang diiringi dengan mekanisme “outsourcing” dan globalisasi perdagangan. Jepang memang sempat mengalami perselisihan ekspor dan politik “Dumping” dengan Amerika Serikat pada 1980-an hingga 1990-an, karena barang buatan Jepang dan budaya Jepang juga membanjiri pasaran Amerika Serikat.
Di akhir periode 1990an pengaruh teknologi Jepang dan Amerika Serikat di pasar komputer dunia juga berkurang, dengan tumbuhnya perusahaan industri presisi asal Taiwan dan industri kerajinan tangan asal Cina daratan. Alih teknologi dari daratan Jepang dan subkontraktornya kemudian pindah produksi komponen ke Korea Selatan, Taiwan, Shanghai – Shenzen, Singapore, Thailand, Indonesia dan kemudian berlanjut dengan pindahnya laboratorium penelitian dan pengembangan ke negara Asia tersebut.
KESIMPULAN
Metalextra juga menawarkan solusi perangkat kerja presisi berkualitas tinggi asal Jerman. Kami juga memilki alternatif produk dari merek dan negeri asal lain yang sesuai budget anda. Berbeda dengan pesaing kami yang bangga berjualan tong sampah dan alat kerja non-presisi yang dicampur aduk, kami merupakan satu-satunya spesialis presisi asli Indonesia yang paham dan mengerti cara cerdas untuk mengejar kesempurnaan dan toleransi yang ketat.
Jangan ragu untuk mencari bantuan dari spesialis yang dapat membantu Anda memilih yang akan memberi Anda manfaat maksimal. Hubungi kami melalui chat online yang ada di pojok kanan bawah website ini atau melalui email : moc.artxelatem @selas Semoga bermanfaat. Wassalam!
Sumber:
rieti.go.jp/en/papers/contribution/okazaki/06.html
jetro.go.jp/en/invest/setting_up/section3/page7.html
nta.go.jp/english/taxes/consumption_tax/01.htm
jisc.go.jp/eng/index.html
dw.com/en/japan-and-the-industrial-boom-of-1917/a-3993652
eh.net/encyclopedia/japanese-industrialization-and-economic-growth/
nippon.com/en/japan-topics/b06904/japan’s-industrial-revolution.html
mhi.com/
horagai.com/www/moji/nihon/hosetu1.htm
Tim Kreatif Metalextra.com, Tulisan ini merupakan opini Pribadi di media milik sendiri.