Industri Tembakau & Rokok kok bisa terus survive di Indonesia?

Indonesia merupakan pabrik Rokok dan tembakau sekaligus pasar konsumen rokok terbesar dunia. Kalangan pelaku industri lain bisa dibilang iri dengan perlakuan khusus pemerintah Indonesia pada industri Rokok. Rokok dan tembakau yang terbukti klinis bisa menyebabkan berbagai penyakit justru dilindungi pemerintah dengan memberlakukan larangan penggunaan dan perdagangan pesaing terberatnya yaitu e-cigarrette atau vaporiser.

Di Indonesia, rokok tembakau itu sendiri awalnya warisan dari kolonial belanda dari sektor swasta maupun dari sektor BUMN kolonial. Setelah kemerdekaan, aset pabrik tersebut malah diambil alih dan dikelola oleh segelintir mantan karyawan dan stafnya yang berubah menjadi pengusaha. Dalam perkembangannya, pemerintah Indonesia pun malah tidak mengkonversi aset kolonial tersebut menjadi BUMN, padahal industri lain seperti Pertamina pada awalnya merupakan BUMN nasionalisasi dari kilang milik Royal Dutch Shell maupun kilang kolonial lainnya.

Pada tahun 2003, iklan dan promosi rokok di Indonesia bernilai $ 250 juta. Dengan demikian, ini adalah salah satu pusat produksi tembakau yang paling khas di dunia.

Bicara tentang industri rokok itu erat hubungannya dengan sektor pertanian massal dan pengadaan bahan baku, khususnya tembakau, cengkeh, dan industri lainnya merupakan industri yang berpotensi menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang sangat banyak. Terutama di pulau Jawa, Industri Tembakau memiliki peran besar untuk pendapatan negara melalui pajak dan cukai, pekerjaan, dan perlindungan terhadap berbagai dampak petani tembakau dan lainnya. Namun, perkembangan industri tembakau dan produknya seperti Rokok kretek selayaknya juga mempertimbangkan kesehatan masyarakat selain menjadi perhatian, sehingga industri ini dapat tumbuh dengan baik.

Dalam Klasifikasi Industri Standar Indonesia (ISIC) 2005, Industri Tembakau yang tergolong dalam Grup Industri Hulu adalah Pengeringan dan Pemrosesan Industri Tembakau (ISIC 16001). Kelompok-kelompok ini termasuk operasi lapangan fogging dan proses pemotongan daun tembakau. Industri Tembakau yang termasuk dalam Kelompok Industri Hilir, seperti: Industri Rokok (ISIC 16002), Industri Rokok Putih (ISIC 16003) dan Industri Rokok lainnya (ISIC 1600) termasuk cerutu, rokok, dupa dan rokok klembak klobot / kawung. Saat ini sekitar ada sekitar 700 pabrikan kecil rokok skala menengah dan besar di Indonesia, padahal di tahun 2007 lalu tercatat ada lebih dari 4.000an pabrikan. Penurunan ini berdampak pula pada sektor tenaga kerja.

Rokok elektronik menggunakan prinsip alat penguap bertenaga baterai genggam yang mensimulasikan kebiasaan merokok dengan menyediakan ragam rasa dan esensi zat cair yang bisa dibeli terpisah, tetapi tanpa membakar tembakau.

Terhitung sejak 2014, lebih dari 90 ribu tenaga kerja pabrik tembakau telah mengalami pemutusan hubungan kerja. Iklim usaha yang semakin tidak kondusif, dan hadirnya peraturan-peraturan yang kian eksesif dipercaya turut menekan industri ini lebih lanjut. Para kapitalis industri rokok dan tembakau juga khawatir tentang proses revisi atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Revisi yang digagas oleh tim Kementerian Kesehatan tanpa pelibatan pelaku usaha tersebut mencakup beberapa poin perubahan yang berdampak pada keberlangsungan Industri hasil tembakau.

Sejumlah poin perubahan antara lain ukuran gambar peringatan kesehatan dari 40 persen menjadi 90 persen dari total kemasan; pelarangan penggunaan bahan tambahan; dan pelarangan iklan di sejumlah media. Kementerian Kesehatan berpendapat bahwa revisi ini akan membantu mengurangi angka prevalensi perokok, khususnya dari kalangan anak-anak dan remaja. Proses revisi ini mendapat penolakan dari para pelaku industri serta asosiasi. Selain Kementerian Kesehatan tidak terbuka menyampaikan latar belakang perlunya revisi atas PP No.109 tahun 2012 ini, para pemangku kepentingan seperti asosiasi industri, asosiasi petani, pedagang, hingga konsumen juga tidak pernah dilibatkan dalam proses revisi tersebut.

Kalangan industrialis rokok swasta yang saat ini sudah meraup kekayaan dalam jumlah fantastis juga berusaha untuk melindungi dagangannya dengan melobi politisi dan pemerintah. Mereka sepertinya berpendapat bahwa PP No. 109 tahun 2012 yang berlaku saat ini sebetulnya telah mengakomodasi dengan tepat hak pelaku industri maupun hak publik. Asosiasi boss rokok juga malah mengusulkan pemerintah dapat fokus kepada upaya nyata yang dapat dilakukan untuk menekan angka prevalensi perokok, seperti edukasi dan pengendalian akses juga konsumsi rokok oleh anak serta remaja. Mereka beranggapan bahwa dengan edukasi yang lebih terstruktur dan menarget banyak lapisan, tentu bisa membuat langkah pencegahan perokok anak semakin efektif, bukan melarang pelaku industri secara sepihak.

Meski upaya atas pengendalian konsumsi produk tembakau semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun para boss besar rokok merasa sudah melakukan yang terbaik untuk menuruti PP No. 109 tahun 2012. Tujuan dari program ini adalah agar para rekan pedagang tidak menjual produk rokok kepada anak dan remaja dibawah usia 18 tahun dengan alasan apapun.

Memang secara ekonomi, Industri hasil tembakau di Indonesia masih diakui menjadi penyumbang yang signifikan dalam pendapatan negara. Pemasukan pendapatan nasional cukai di tahun 2018 mencapai Rp 153 triliun berkontribusi pada setidaknya 95,8 persen cukai nasional. Tetapi bukankah industri dan jenis usaha tersebut harusnya sesuai dengan etika publik dan dampak sosial pada kesehatan masyarakat? Jika hanya dihitung dari segi ekonomi, bagaimana dengan perbandingan biaya BPJS dan subsidi kesehatan yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai kesehatan masyarakat yang terdampak oleh industri rokok? Setidaknya di tahun 2020 masih belum ada angka yang jelas maupun badan pemerintah yang sanggup memberikan data penelitian ini.

Jika mencontoh negeri komunis Cina, opini pengusaha disana berpendapat bahwa ada peluang industri lain yang berorientasi export mirip seperti tembakau, seperti industri hemp atau ganja. Industri alternatif ini memiliki supply chain yang mirip dengan tembakau dan terbukti sangat menguntungkan jika dilihat dari sisi uang dipasar negeri Amerika Serikat maupun Eropa yang saat ini sudah melegalkan. Jika industri dan pertanian hemp ini dilegalkan, justru potensi tenaga kerja dan keuntungan pendapatan negara akan jauh lebih besar daripada tembakau. Namun justru zat ini dikategorikan sebagai Napza atau obat-obatan terlarang dan sangat dibatasi pengelolaannya oleh segelintir wirausaha medis yang terpilih dan bermodal besar. Industri hemp saat ini dilarang di Indonesia dengan alasan berpotensi merusak generasi bangsa, namun bukankah memiliki potensi export?. Apakah industri selalu membandingkan etika dengan profit?. Jika hanya perbandingan profit semata, bukankah pemerintah seharusnya bisa lebih kreatif untuk melegalkan industri lain yang bentuk polanya mirip dengan tembakau namun terbatas untuk konsumsi export?

Dilain sisi, para pengusaha boss rokok dan asosiasi makelar lobi rokok juga mengkhawatirkan jika proses revisi PP No.109 tahun 2012 terus berlangsung tanpa melibatkan seluruh rantai pasok industri dari hulu hingga hilir, akan berdampak luas terhadap perekonomian Indonesia. Mulai dari semakin banyaknya pabrikan-pabrikan yang terpaksa gulung tikar, yang akan menyebabkan meningkatnya angka pengangguran; hingga beralihnya konsumen dari produk resmi ke produk tidak resmi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya dan menyebabkan kerugian pendapatan negara.


Sumber; Swa, Bloomberg, Detik, Netherland online archives

Awalnya dipublikasikan pada25 December 2019 @ 7:10 AM

Leave a Reply